iklan

iklan

Minggu, 04 September 2016

Mengapa Kita Tidak Berhak Memakai Nama dan Lambang Bulan Sabit Merah?


Pemerintah Republik Indonesia dengan resmi membentuk Palang Merah Indonesia (PMI) pada 17 September 1945 dan mengesahkannya melalui Keputusan Presiden RIS Nomor 25 Tahun 1950 sebagai lembaga pendukung pemerintah (Auxiliary to the Government) untuk menyediakan berbagai pelayanan kemanusiaan seperti bantuan korban bencana, pelayanan sosial dan kesehatan masyarakat, pengelolaan darah, pembinaan generasi muda dan diseminasi Hukum Perikemanusiaan Internasional sesuai ketentuan Konvensi Jenewa Tahun 1949. Pun pada situasi konflik bersenjata, jika diperlukan, PMI dapat mendukung pelayanan kesehatan (Dinas Kesehatan) TNI dengan tunduk pada ketentuan hukum militer. Karena itu, lambang pelindung yang dipakai oleh PMI harus sama dengan lambang yang digunakan oleh Dinas Kesehatan TNI. Dengan mengakui keberadaan PMI dan diperkuat legalitasnya melalui Keputusan Presiden RI Nomor 246 Tahun 1963, maka secara tegas pemerintah hanya mengesahkan menurut hukum nasional satu-satunya Perhimpunan Nasional dengan mengunakan satu lambang yang sama digunakan oleh Dinas Kesehatan TNI. Artinya, saat Dinas Kesehatan TNI akan mengganti lambang mengunakan lambang Bulan Sabit Merah, maka PMI tentu saja langsung mengganti nama dan lambang menjadi Bulan Sabit Merah Indonesia. Indonesia pun telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang (International Conventions for the Protection of Victims of War) menjadi Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958 (UU No 59 Tahun 1958), dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Penguasa Perang Perang Tertinggi Nomor 1 Tahun 1962 tentang Pemakaian/Penggunaan Tanda-tanda dan Kata-kata Palang Merah, serta Keputusan Menteri Pertahanan Nomor: KEP/02/M/II/2002 tentang Penerapan Hukum Humaniter dan Hukum Hak Azasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Namun selama kurun waktu pendirian PMI hingga tahun 2016 ini, berlakunya UU No 59 Tahun 1958 dan beberapa (termasuk dua) aturan pelengkap diatas, baik pemerintah maupun masyarakatnya telah gagal melindungi dan menghormati lambang-lambang kemanusiaan Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, karena tidak diikuti dengan penguatan pencegahan penyalahgunaan lambang-lambang kemanusiaan Gerakan melalui peraturan hukum yang kuat, tegas, mengikat, keras dengan sanksi pidananya. Kini 70 tahun sejak PMI dibentuk dan didirikan serta terus berkiprah dalam pelayanan bantuan kemanusiaan di tanah air, tapi penyalahgunaan lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah masih terus terjadi di negeri ini, tanpa sedikit pun tindakan untuk menertibkannya bahkan meniadakan. Kian hari, frekuensi tindakan penyalahgunaan kedua lambang itu semakin tinggi, karena itulah kebutuhan hukum (solusi yuridis) sangat penting dan mendesak diadakan. Misalnya, pada 7 Mei 2002 berdiri sebuah Yayasan yang kemudian diberi nama Yayasan Bulan Sabit Merah Indonesia (Yayasan BSMI). Tokoh-tokoh pendirinya termasuk “orang-orang penting” di republik ini seperti paramedis, dokter, aktivis, akademisi, politisi (negarawan). Namun, kehadiran Yayasan BSMI tentu bisa dibilang tidak lazim di negara hukum ini, karena selain tidak mematuhi UU No 59 Tahun 1958, Keppres RIS No 25 Tahun 1950, Keppres RI No 246 Tahun 1963, Peraturan Penguasa Perang Tertinggi No 1 Tahun 1962, Keputusan Menteri Pertahanan Nomor Kep/02/M/II/2002, Yayasan BSMI juga keliru mengklaim Bulan Sabit Merah dengan konotasi dan identitas agama, dan salah menafsir jika hanya mau bekerjasama dengan “Gerakan Bulan Sabit Merah Internasional” karena Komponen Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional hanya ada 3 (tiga) yaitu: 1. Komite Internasional Palang Merah atau disingkat ICRC, 2. Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah atau disingkat IFRC, dan 3. Perhimpunan Nasional Palang Merah atau Bulan Sabit Merah, disingkat Perhimpunan Nasional (PN). Jelas sampai kapan pun Yayasan BSMI terus bersikukuh, klaim tersebut tak akan pernah bisa diakui dan diterima oleh semua Komponen Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. Pada 16 Februari 2016 lalu, sebuah petisi online muncul di situs web “www.change.org”, ia dibuat untuk meminta dukungan tanda tangan netters dengan judul: “Dukung Bulan Sabit Merah Indonesia sejajar dengan PMI”. Tentu agar tak ada lagi kekeliruan berpikir seperti sang pembuat petisi online ini, dan atau kesalahan menggunakan nama dan lambang Bulan Sabit Merah oleh Yayasan BSMI dapat segera dikoreksi atau dibenahi, dan agar Yayasan BSMI memiliki pemahaman yang semakin baik dengan segera mengganti nama dan tidak lagi mengunakan lambang Bulan Sabit Merah yang telah terlanjur dipakainya. Dan untuk dikemudian hari tindakan-tindakan penyalahgunaan lambang Bulan Sabit Merah dapat di redusir bahkan ditiadakan dari orang atau badan hukum lain yang tidak berhak atau tidak berkepentingan, maka berikut ini kami kemukakan “Sepuluh Alasan Mengapa Orang atau Badan Hukum Seperti Yayasan BSMI Tidak Berhak Menggunakan Nama dan Lambang Bulan Sabit Merah”, sebagai berikut: PERTAMA, Indonesia sudah lama memberlakukan UU No 59 Tahun 1958 tentang ikut sertanya Negara Republik Indonesia dalam keempat Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949. UU No 59 tahun 1958 mengatur mengenai penggunaan lambang Palang Merah, Bulan Sabit Merah. wajib menjadi ketaatan hukum, moral Dan politik bagi semua komponen masyarakat Indonesia untuk menghormati UU No 59 tahun 1958 itu tanpa kecuali. Indonesia telah menjadi peserta (pihak) dari Konvensi Jenewa Tahun 1949 dengan cara aksesi berdasarkan UU No 59 Tahun 1958 tentang Ikut Sertanya Negara Republik Indonesia Dalam Ke-empat Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949. Keempat Konvensi itu: Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Bersenjata di Medan Pertempuran Darat (Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field, of August 12, 1949). Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata di Laut yang Luka, Sakit dan Korban Karam (Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea, of August 12, 1949). Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang (Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War, of August 12, 1949). Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang Sipil di waktu Perang (Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War, of August 12, 1949). Nah, masyarakat Indonesia sebagai bagian dari komunitas masyarakat internasional, perlu mengetahui bahwa Konvensi Jenewa Tahun 1949 yang kemudian menjadi UU No 59 Tahun 1958 di atas juga merupakan salah satu “Law Makin Treaties” atau perjanjian yang membentuk hukum dengan meletakan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat Internasional secara keseluruhan. Karena itu, ketidaktaatan terhadap UU No 59 Tahun 1958 sebagai Law Making Treaties ini bisa disebut sebagai suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional. Meskipun Indonesia bukan sebagai pihak penandatangan yang pertama pada saat pembuat kesepakatan itu dilakukan, maka sebagaimana Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS = United Nations Convention on the Law of the Sea atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut menjadi UU No 17 Tahun 1985), Konvensi Jenewa Tahun 1949 pun adalah Law Making Treaties untuk sebuah perjanjian multilateral yang mengikat banyak subyek hukum internasional dan melahirkan tanggungjawab negara pesertanya untuk wajib melindungi dan menghormatinya. Dengan demikian, Konvensi Jenewa Tahun 1949 ini menurut sifatnya sangat penting artinya bagi Indonesia. Dewasa ini, seperti halnya perjanjian-perjanjian multilateral lainya yang menjadi Law Making Treaties karena ditandatangani dan disegel dengan cara yang sama oleh wakil-wakil pemerintah berkuasa penuh, maka Konvensi Jenewa Tahun Tahun 1949 dan ketiga protokol-protokol tambahannya yang belum sempat diratifikasi, masih menjadi kebutuhan hukum paling penting karena perannya untuk melindungi para korban konflik bersenjata yang bisa saja terjadi di Indonesia di hari-hari kedepan. Untuk itu menjadi kewajiban bagi setiap rezim Pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengimplementasikannya dalam suatu peraturan perundang-undangan nasional, agar terjadi ketaatan dan kepatuhan aturan hukum di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan agar setiap komponen bangsa dan negara, termasuk Yayasan BSMI wajib menghormati, menaati, dan patuh kepada peraturan perundang-undangan tersebut. Sebagaimana untuk diketahui, persetujuan untuk terikat pada Perjanjian Internasional (Consent to be Bound by a Treaty) sebagai tahap akhir pembentukan Perjanjian Internasional diatur dalam Pasal 11 Konvensi Wina Tahun 1986 Tentang Hukum Perjanjian Internasional Antara Negara Dengan Organisasi Internasional Atau Organisasi Internasional Satu Sama Lain, di mana dinyatakan bahwa suatu negara atau organisasi internasional dapat mengikatkan diri dengan negara dan/atau organisasi internasional lain dalam perjanjian internasional melalui beberapa cara, di antaranya: Penandatanganan (Signature), diatur dalam pasal 12 Konvensi Wina 1969, Penukaran instrumen-instrumen pembentuk perjanjian (Exchange of Instrumens Constituting a Treaty), diatur dalam pasal 13 dan pasal 16 huruf (a) Konvensi Wina 1969, Peratifikasian (Ratification), diatur dalam pasal 14 ayat 1 dan pasal 16 Konvensi Wina 1969, Penerimaan (Acceptance), diatur dalam pasal 14 ayat 2 dan pasal 16 Konvensi Wina 1969, Pemufakatan (Approval), diatur dalam pasal 14 ayat 2 Konvensi Wina 1969, Pengikutsertaan (Accession), diatur dalam pasal 15 dan pasal 16 Konvensi Wina 1969, dan Khusus untuk organisasi internasional, melalui pembuatan konfirmasi formal (Act of Formal Confirmation).  KEDUA, pemakaian lambang Palang Merah dan/atau Bulan Sabit Merah wajib terkait dengan Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. 153 tahun yang lalu, Jean Henry Dunant (1828-1910) warga negara Swiss dan bapak pendiri Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional (melalui bukunya yang terkenal: “Un Sovenir De Solferino” atau “a Memory of Solferino” atau “Kenangan dari Solferino”, terbit Oktober 1862 yang mengambarkan kengerian perang di Solferino, Italia, tanggal 24 Juni 1859) telah menanamkan visi agung tentang kekuatan kerelawan yang terus hidup dan semakin kuat di dunia. Henry Dunant adalah peletak dasar-dasar organisasi kesukarelawanan modern untuk tujuan kemanusiaan, dan sebagai orang pertama yang mendapatkan anugerah medali (penghargaan Nobel) perdamaian. Kegigihan Henry Dunant menyemai “Jiwa, Semangat, dan Nilai-nilai” kesukarelawanan untuk tujuan kemanusiaan berbuah manis. Saat ini pertumbuhan gerakan kerelawanan baik yang dilakukan oleh individu dan organisasi di masyarakat semakin meningkat seiring peningkatan kejadian bencana, musibah, kegagalan teknologi, wabah penyakit dan konflik bersenjata, apalagi masyarakat internasional dan Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan setiap tanggal 5 Desember sebagai Hari Relawan Internasional dan setiap tanggal 26 Desember sebagai hari Relawan PMI. Karena eskalasi kejadian bencana alam, musibah, kegagalan teknologi, wabah penyakit dan konflik bersenjata semakin meningkat dan meluas, ini menimbulkan animo perseorangan dan kelompok masyarakat untuk membentuk, mendirikan, menjalankan organisasi kemanusiaan. Tak terkecuali kehadiran Yayasan BSMI, yang kepadanya tentu saja kita semua sepatutnya mengapresiasi pendirian, visi dan misi Yayasan BSMI ini, yang tentu saja menandakan aksi positifnya untuk bergabung dalam garda depan pelayanan kemanusiaan di Indonesia bahkan internasional. Sayang sekali, niat baik pembentukan Yayasan BSMI sepertinya sangat berbeda dengan penerapan 7 (tujuh) Prinsip Dasar dari Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. Misalnya pada prinsip kesatuan, sudah sangat jelas disebutkan (termasuk dalam statuta, dan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional) bahwa di setiap negara hanya boleh ada (didirikan) 1 (satu) saja Perhimpunan Nasional, dan Perhimpunan Nasional tersebut hanya boleh memilih mengunakan 1 (satu) lambang, mengikuti lambang yang digunakan oleh Dinas Kesehatan Militer-nya. Maka klaim pemakaian nama dan lambang Bulan Sabit Merah oleh Yayasan BSMI harus dinyatakan dilarang, apapun maksud dari pemakaiannya, karena hal ini dapat dikategorikan sebagai tindakan penyalahgunaan lambang, sebagai kekeliruan dan harus segera dikoreksi untuk dan tentu demi kebaikan Yayasan BSMI kedepannya. Bahwa karena Yayasan BSMI bukan bagian atau anggota dan atau komponen dari Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, maka menurut ketentuan UU No 59 Tahun 1958, Yayasan BSMI tentu tidak berhak dan tidak berkepentingan menggunakan nama dan lambang Bulan Sabit Merah, dan jika karena telah terlanjur adanya surat keputusan pengesahan akta pendirian Yayasan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, maka sebagai jawaban untuk koreksinya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bapak Yasonna Hamonangan Laoly, harus segera mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Nomor C-2241.HT.01.02.TH 2007 tanggal 18 Juli 2007. Surat Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum itu sangat bertentangan dengan ketentuan UU No 59 Tahun 1958 dan beberapa peraturan pelengkapnya. Selain itu, dari sisi kebaikan bersama, kita semua berharap agar Yayasan BSMI pun segera menghormati keseluruhan isi UU No 59 Tahun 1958 dengan tidak lagi mengunakan nama dan lambang Bulan Sabit Merah, jiwa besar sebagai kemauan politik, kewajiban hukum dan kepentingan moral para pendiri dan pengurus Yayasan BSMI sangat di tunggu. Kepada para Pendiri dan Pengurus Yayasan BSMI yang menjadi teladan penegakan hukum sekiranya dapat segera mengoreksi kesalahan dan membenahi kekeliruannya selama ini, dan sekaligus menyurati Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mencabut, membatalkan surat keputusan yang tersebut diatas yang telah terlanjur didaftarkan oleh Yayasan BSMI. Bahwa untuk dan atas penggantian nama dan lambang oleh Yayasan BSMI menjadi nama dan lambang yang berbeda dengan nama dan lambang-lambang Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional menurut Konvensi Jenewa Tahun 1949 tentu saja tidak akan merubah visi dan misi kemanusiaan yang menjadi dasar pendirian Yayasan BSMI. Kita (masyarakat Indonesia) selalu menunggu jiwa negarawan dari para pendiri dan pengurus Yayasan BSMI mewujudkan visi dan misinya tanpa pun memakai nama dan lambang Bulan Sabit Merah. Karena peran serta Yayasan BSMI selama ini sudah sangat baik, bahkan terlampau baik, hanya satu saja kekurangannya, dan ia hanya berupa kurangnya pengertian bahwa Yayasan BSMI bukanlah pihak yang terkait dengan Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional dan tentu saja tidak berhak memakai nama atau kata-kata dan lambang Bulan Sabit Merah. KETIGA, bukan lambang yang bisa dipakai sembarangan, lambang Bulan Sabit Merah untuk lambang kemanusiaan dengan sifat netral dan wajib dihormati oleh semua pihak, dan perdebatan tentangnya telah tuntas dibahas pada tahun 1929. Harus disadari oleh seluruh masyarakat Indonesia bahwa sejarah panjang perdebatan masyarakat internasional untuk menggunakan Lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah, telah dibahas tuntas pada tahun 1929 dalam sebuah Konferensi Internasional Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional yang dilaksanakan untuk itu. Itupun kemudian diperkuat pada Konferensi Internasional tahun 2005 dengan pengadopsian satu lagi lambang pembeda yaitu Kristal Merah (Red Crystal). Tahun 1864 saat diadakan Konferensi Diplomatik, perdebatan mengunakan lambang Palang Merah diatas dasar putih telah dibahas tuntas di Jenewa, Swiss. Ia digunakan karena menawarkan keuntungan teknis. Ia memberikan pesan khusus, mudah diingat, mudah dikenali dari jarak jauh, memiliki desain yang sederhana dan sangat mudah dibuat. Tahun 1876, Kesultanan Ottoman (kini Republik Turki) mengajukan lambang Bulan Sabit Merah untuk Dinas Kesehatan Tentara Kerajaannya yang berasal dari bendera negaranya (Bulan Sabit Putih diatas dasar merah) yang kemudian disepakati dalam Konferensi Internasional Gerakan tahun 1929. Pada saat itu, selain kesultanan Ottoman mengusulkan Bulan Sabit Merah, negara-negara seperti Afganistan, Cyprus, India, Jepang, Thailand (Siam), Siria, Sudan, Srilanka, mengusulkan lambang-lambang berbeda untuk Dinas Kesehatan Tentaranya. Lambang Singa dan Matahari Merah misalnya, ia diajukan oleh Kekaisaran Persia. Meski disetujui oleh konferensi internasional gerakan, kini lambang Singa dan Matahari Merah tidak lagi digunakan sejak 1980 seiring berubahnya Kekaisaran Persia menjadi Republik Iran. Lambang yang lain seperti: Nyala Api Merah (Red Flame), Bintang David Merah (Red Shield of David), Red Arrchway (Mehrab-e-Ahmar), Strip Merah di bawah Matahari Merah di atas Dasar Putih (Red Strip Beneath a Red Sun on a White Ground), Swastika, Palem Merah (Red Palm), dan lambang-lambang yang lain, menjadi usulan yang mengemuka kala itu. Misalnya jika semua lambang yang diusulkan negara-negara diatas disepakati dalam Konferensi Internasional Gerakan tahun 1929, maka sejarah karut marut penggunaan lambang pembeda pada saat perang akan kembali mundur sebelum tahun 1864 (konferensi internasional pertama yang menghasilkan Konvensi tentang Komite Internasional Palang Merah atau ICRC dan Lambang Palang Merah)---bahkan mundur ke era-era seperti perang di Solferino 1859, sebelum Henry Dunant menulis buku: “Kenangan dari Solferino” yang tanpa aturan kemanusiaan modern dan menewaskan dan mencederai sekitar 40 ribu tentara, di mana personil Dinas/Unit Kesehatan dan Kerohanian Tentara hanya ditandai seadanya dengan mengunakan ban lengan beraneka warna-motif-corak. Penggunaan tersebut, yang mana tanpa disepakati, dihormati, dan ditaati secara internasional dan menimbulkan penafsiran berbeda dan sangat berbahaya bagi keselamatan personil medis dan rohaniawan yang seharusnya dijamin netral bekerja menolong semua korban perang tanpa kecuali. Karena itu, jasa baik dari kesimpulan para peserta konferensi internasional tahun 1929 jangan lagi dikesampingkan oleh orang dan badan hukum seperti Yayasan BSMI di Indonesia. Bahwa lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah kini menjadi milik dunia, bukan lagi milik agama (jika sekiranya dipersepsikan demikian). Keduanya kini mewakili pesan, gagasan, ide-ide kemanusiaan universal dari Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional tanpa bertendesi lagi pada konotatif agama. Karena sekali lagi, pada tahun 1929 para peserta Konferensi Internasional yang saat itu gagap teknologi komunikasi justru telah membahasnya tuntas. Kita bisa menyebut mereka pada tahun 1929 sebagai futurolog karena ternyata pemikiran mereka masih sangat relevan dan jauh melampui pemikiran sempit masyarakat modern saat ini. Kini, dunia bergerak dinamis, maju terus tanpa harus kembali lagi ke ideologi sektarian. Karena itu, jangan lagi membalikan sejarah ke era-era kemunduran, ke jaman tanpa aturan, tanpa budaya hukum. Dan, karena masyarakat Indonesia makin dikenal sebagai masyarakat yang taat hukum, maka karena itulah lambang-lambang kemanusiaan universal dari Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional ini jangan lagi dikonotasikan dengan atau sebagai klaim milik agama, kepercayaan, ideologi, atau pandangan politik tertentu. Sekali lagi, fakta perdebatan lambang pelindung dan pengenal yang telah tuntas di tahun 1929 itu seyogyanya tidak lagi diungkit kembali, karena hanya membuang energi kemanusiaan yang percuma. Dunia kemanusiaan bergerak maju dengan sistem yang semakin solid, terarah, terorganisir. Dan, di Indonesia pun, peran kemanusiaan PMI semakin “profesional, tanggap dan dicintai oleh Masyarakat Indonesia. KEEMPAT, lambang Bulan Sabit Merah hanya boleh digunakan oleh Dinas Kesehatan Tentara Nasional Indonesia dan Perhimpunan Nasional-nya. Sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa Tahun 1949, maka pihak yang berhak menggunakan lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah di Indonesia dalam fungsinya sebagai tanda pelindung pada situasi konflik bersenjata, yaitu: 1. Dinas Kesehatan dan Rohaniawan TNI, 2. Sukarelawan/Petugas PMI yang diperbantukan pada Dinas Kesehatan TNI yang tunduk pada hukum serta peraturan militer, 3. Semua unit medis sipil dengan ijin tertulis dan pengawasan dari pemerintah. Dalam fungsinya sebagai tanda pelindung pada kondisi damai, yaitu: 1. Dinas Medis dan Rohaniawan TNI, 2. Sukarelawan/Petugas PMI dengan persetujuan dari pihak yang berwenang. Pada masa konflik bersenjata, penggunaan lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah dalam fungsinya sebagai tanda pengenal hanya oleh pihak: 1. ICRC, 2. IFRC, 3. PMI. Sedangkan dalam fungsinya sebagai tanda pengenal pada keadaan damai, hanya oleh pihak: 1. PMI, 2. Unit Kesehatan bukan anggota Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional dalam fungsinya untuk pertolongan pertama secara temporer, sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional dan atas ijin tertulis dari Ketua Umum PMI. Bahwa mungkin karena ketidaktahuan masyarakat Indonesia akan fakta sejarah tuntas sudahnya perdebatan lambang saat Konferensi Internasional Gerakan di tahun 1929, memang masih memupus fungsi pemakaian kedua lambang diatas. Terasa sangat sering kita menemukan lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah masih tertera pada bendera, pakaian, kendaraan atau berbagai benda lainnya. Hal ini semakin menimbulkan anggapan bahwa lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah adalah lambang untuk pertolongan atau kesehatan milik umum, yang dapat dipergunakan secara bebas di Indonesia. Padahal sejatinya lambang Bulan Sabit Merah adalah lambang kemanusiaan dan netral, yang hanya boleh digunakan oleh Dinas Kesehatan Terntara dan Perhimpunan Nasional yang juga anggota dari Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. Karena itu pemakaian lambang Bulan Sabit Merah atau tanda atau sebutan apapun yang merupakan peniruan dari padanya oleh perseorangan, perkumpulan-perkumpulan, perusahaan atau perseroan dagang baik pemerintah maupun swasta, selain dari mereka yang berhak menurut Konvensi Jenewa 194 selalu harus dilarang, apapun maksud dari pemakaiannya itu dan tanpa mengindahkan tanggal penggunaannya. Misalnya, menurut Pasal 54 Konvensi Jenewa Tahun 1949 atau Pasal 54 UU No 59 Tahun 1958, apabila perundang-undangan mereka (setiap negara penanda tangan konvensi) belum juga sempurna, pemerintahnya harus setiap saat mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk pencegahan dan pemberantasan tindakan-tindakan penyalahgunaan seperti tersebut dalam Pasal 53. Oleh Karenanya, Rancangan Undang-Undang Kepalangmerahan harus segera disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Selain itu, pengaturan yang cukup lengkap tentang pemakaian lambang pun telah diatur dalam Peraturan Penguasa Perang Tertinggi Nomor 1 Tahun 1962 tentang Pemakaian/Penggunaan Tanda dan Kata-Kata Palang Merah. Pada Pasal 4 Peraturan ini disebutkan bahwa Ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam pasal-pasal 1, 2 dan 3 Peraturan ini berlaku juga bagi tanda-tanda yang berbentuk "Bulan Sabit Merah" atau "Singa Merah dan Matahari" diatas dasar putih, demikian pula perkataan-perkataan "Bulan Sabit" atau "Singa Merah dan Matahari", dan di Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7 secara jelas mengatur ketentuan Pidananya. Tentu untuk kebaikan Yayasan BSMI dalam aktivitas bantuan kemanusiaannya pada saat keadaan darurat sipil, keadaan darurat militer dan keadaan perang yang dapat saja terjadi kedepannya, maka ketentuan pidana pada Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 Peraturan Penguasa Perang Tertinggi Nomor 1 Tahun 1962 ini menjadi catatan penting untuk Yayasan BSMI segera merubah pemakaian nama dan lambang Bulan Sabit Merah. KELIMA, di suatu negara hanya boleh didirikan satu Perhimpunan Nasional dan hanya mengunakan satu lambang pembeda. Bahwa jika pun oleh-dan atas perintah perundang-undangan nasional bahwa lambang Perhimpunan Nasional saat ini PMI wajib berubah dari Palang Merah menjadi Bulan Sabit Merah, maka PMI yang dibentuk/diakui oleh negara, pemerintah, dan didukung masyarakat, serta telah menjadi anggota tetap Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, langsung bisa merubah lambangnya dari semula Palang Merah menjadi Bulan Sabit Merah, termasuk mengganti namanya dari PMI (Palang Merah Indonesia) menjadi BSMI (Bulan Sabit Merah Indonesia). KEENAM, Perhimpunan Nasional yang dibentuk, disahkan, dan diakui secara nasional dan Internasional oleh negara dan Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional untuk menjalankan ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa tahun 1949 adalah Perhimpunan Palang Merah Indonesia atau Disingkat PMI. Bung Karno pernah berkata: “Jangan Sekali-kali meninggalkan sejarah = JASMERAH”. Judul pidato Bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1966 tentu masih relevan dengan situasi dan kondisi Indonesia saat ini yang masyarakatnya justru semakin hari kian meninggalkan bahkan melupakan jejak sejarah perjuangan nasional. Padahal, dalam konteks untuk kemajuan Indonesia saat ini dan kedepannya, justru ditentukan juga oleh kemampuan untuk masih menghargai nilai-nilai “karya cipta bangsa di masa lampau”, masih terus melestarikan dan mengkaji manfaatnya, serta masih menjadikannya acuan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan negara di masa mendatang. PMI adalah “karya cipta bangsa Indonesia” di jamannya yang masih relevan dengan cita-cita negara Pancasila dan karena itu harus terus dipertahankan, bukan hanya karena ia telah menjadi saksi sejarah perjalanan mempertahankan kemerdekaan, namun gerak juangnya untuk kemanusiaan telah menorehkan catatan emas sejarah perjuangan kebangsaan Indonesia. Pengabdiaan PMI bukan hanya untuk Indonesia, tapi juga untuk seluruh umat manusia. Oleh karena PMI telah mendapatkan pengakuan dan penguatan peran secara resmi oleh negara sebagai satu-satunya Perhimpunan Nasional melalui Keputusan Presiden RIS Nomor 25 Tahun 1950 dan Keputusan Presiden RI Nomor 246 Tahun 1963, dan karena pemerintah telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 dengan UU Nomor 59 Tahun 1958, maka keberadaan PMI yang telah mendapatkan pengakuan Komite Internasional Palang Merah (ICRC) pada 15 Juni 1950 dan diterima sebagai anggota ke-68 oleh Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) pada 16 Oktober 1950 harus dipertahakan tanpa bertendensi apapun. Dengan eksistensi PMI yang terus bergerak melintas batas-batas persepsi, maka tanpa sekalipun mengurangi rasa hormat kepada Yayasan BSMI, tentu ada baik dan bermanfaatnya bila Anggota Yayasan BSMI kemudian bisa bergabung menjadi Anggota PMI. Mari membesarkan PMI secara bersama-sama sebagai organisasi kemanusiaan “dari, oleh, dan untuk” Bangsa dan Negara Indonesia! KETUJUH, Bulan Sabit Merah Indonesia adalah Yayasan atau Lembaga Swadaya Masyarakat, bukan Perhimpunan Nasional yang Diakui, disahkan oleh negara dan bukan Anggota Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, tidak berhak menggunakan nama dan lambang (logo) Bulan Sabit Merah. Di atas sudah dijelaskan bahwa “Yayasan Bulan Sabit Merah Indonesia” atau Yayasan BSMI bukanlah Perhimpunan Nasional sebagaimana ketentuan Konvensi Jenewa Tahun 1949 dan Protokol-protokol Tambahannya, dan bukan bagian atau anggota dari Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC), serta sama sekali tidak terkait Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. Yayasan BSMI resmi berdiri pada tanggal 7 Mei 2002 sebagai proses evaluasi diri yang panjang terhadap masalah kemanusiaan yang muncul dari perenungan mendalam menghadapi tugas-tugas kemanusiaan yang universal dalam ajaran Islam. Status hukum BSMI adalah Yayasan atau Lembaga Swadaya Masyarakat menurut akta pendirian nomor 1305/Not/VI/2007 tanggal 5 April 2007 dihadapan Notaris Eva Zunaida. Oleh karena ketentuan UU No 59 Tahun 1958, Keppres RIS No 25 Tahun 1950, Keppres No 246 Tahun 1963, Peraturan Penguasa Perang Perang Tertinggi No 1 Tahun 1962, Keputusan Menteri Pertahanan No KEP/02/M/II/2002, dan Hukum Kebiasaan Internasional yaitu Konvensi-konvensi Internasional tentang Hukum Perikemanusiaan Internasional, maka Yayasan BSMI sekalipun memiliki maksud dan tujuan mulia untuk menjadi salah satu organisasi kemanusiaan di Indonesia, Yayasan BSMI sama sekali tidak berhak menggunakan-memakai nama atau kata-kata dan lambang Bulan Sabit Merah. Dalam hal ini, Yayasan BSMI memang harus merubah nama dan lambangnya dengan nama dan lambang yang lain bukan Bulan Sabit Merah. Atas maksud tulisan ini dibuat, tentu sebagai generasi muda yang masih sangat membutuhkan keteladan dalam hal ketaatan terhadap aturan hukum dari para tokoh-tokoh pendiri Yayasan BSMI yang semuanya adalah tokoh-tokoh penting dalam republik Pancasila ini. Itu karena kami sebagai yang muda memang selalu berharap adanya keteladanan dari tokoh-tokoh penting republik ini karena kami menyadari bahwa keteladanan sudah sangat langka di temukan di Indonesia ini, karena dari waktu ke waktu manusia Indonesia dengan keteladanan sebagai manusia yang langka dan luar biasa semakin berkurang pun di dunia politik dan hukumnya yang juga masih carut-marut ini. Kita harapkan tokoh-tokoh pendiri dan pengurus Yayasan BSMI memesona kita dengan kebaikan mereka dan penghormatan mereka untuk tidak mempertentangkan lagi lambang Bulan Sabit Merah. Kita harapkan penghargaan mereka bagi aturan hukum yang sudah ada, dan semoga kualitas tugas dan tanggungjawab mereka yang luar biasa kembali memancarkan cahaya cemerlang meski tidak lagi dalam aktivitas Yayasan BSMI, tetapi karena mereka telah menyadari untuk sebaiknya bergabung dengan PMI, membesarkan PMI, karena kita harapkan mereka seperti bintang-bintang yang indah di langit, yang asalnya tidak kita hiraukan, namun selalu terang dan terus dirindui karena kebaikan mereka untuk membangun PMI sebagai organisasi kemanusiaan di Indonesia. KEDELAPAN, harus diingat bahwa setiap pemakai lambang Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional selalu berdasarkan pada prinsip-prinsip dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. PMI terbuka menerima keanggotaan, termasuk dari BSMI. Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internaional memiliki Tujuh Prinsip Dasar yang kini menjadikan prinsip-prinsip ini lebih bersifat universal dan diterima semua kalangan pun tentu saja dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuh Prinsip Dasar itu adalah: 1. KEMANUSIAAN (Humanity): Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (gerakan) lahir dari keinginan untuk memberikan pertolongan kepada korban yang terluka dalam pertempuran tanpa membeda-bedakan mereka dan untuk mencegah serta mengatasi penderitaan sesama manusia yang terjadi dimanapun. Tujuannya ialah melindungi jiwa dan kesehatan serta menjamin penghormatan terhadap umat manusia. Gerakan menumbuhkan saling pengertian, persahabatan, kerjasama dan perdamaian abadi antarsesama manusia. 2. KESAMAAN (Impartiality): Gerakan memberi bantuan kepada orang yang menderita tanpa membeda-bedakan mereka berdasarkan kebangsaan, ras, agama, tingkat sosial atau padangan politik. Tujuannya semata-mata ialah mengurangi penderitaan orang per orang sesuai dengan kebutuhannya dengan mendahulukan keadaan yang paling parah. 3. KENETRALAN (Neutrality): Gerakan tidak memihak atau melibatkan diri dalam pertentangan politik, ras, agama atau ideologi. 4. KEMANDIRIAN (Independence): Gerakan bersifat mandiri. Setiap Perhimpunan Nasional sekalipun merupakan pendukung bagi pemerintah di bidang kemanusiaan dan harus menaati peraturan hukum yang berlaku di negaranya masing-masing, namun gerakan bersifat otonom dan harus menjaga tindakannya agar sejalan dengan prinsip dasar gerakan. 5. KESUKARELAAN (Voluntary Service): Gerakan memberi bantuan atas dasar sukarela tanpa unsur keinginan untuk mencari keuntungan apapun. 6. KESATUAN (Unity): Di dalam suatu negara hanya boleh ada satu Perhimpunan Nasional dan hanya boleh memilih salah satu lambang yang digunakan: Palang Merah atau Bulan Sabit Merah. Gerakan bersifat terbuka dan melaksanakan tugas kemanusiaan di seluruh wilayah negara yang bersangkutan. 7. KESEMESTAAN (Universality): Gerakan bersifat semesta. Artinya, Gerakan hadir di seluruh dunia. Setiap Perhimpunan Nasional mempunyai status yang sederajat, serta memiliki hak dan tanggung jawab yang sama dalam membantu satu sama lain. Bahwa oleh karena PMI berdasarkan prinsip-prinsip tersebut di atas, dan terbuka menerima anggota dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia, maka PMI pun sangat terbuka menerima anggota dari manapun termasuk dari Yayasan BSMI.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/irwanlalegit/mengapa-kita-tidak-berhak-memakai-nama-dan-lambang-bulan-sabit-merah_56c8cc14927a617c0c1b9db3



ESEMBILAN, agar masyarakat Indonesia tidak disebut sebagai penyalahguna terparah bagi lambang-lambang yang telah diatur di dalam Ketentuan Konvensi Jenewa Tahun 1949. Lambang Palang Merah, Bulan Sabit Merah dan Kristal Merah memiliki status internasional yang setara dan sederajat, sehingga ketentuan pokok tentang tata-cara dan penggunaan lambang Palang Merah berlaku pula untuk lambang Bulan Sabit Merah dan Kristal Merah. Ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) Protokol Tambahan III tahun 2005 yang berbunyi : "This Protocol recognizes an additional emblem in addition to, and for the same purposes as, the distinctive emblem of the Geneva Conventions. The distinctive emblems shall enjoy the equal status". Ketiga lambang ini hanya dipergunakan oleh organisasi yang “berhak” dan “berkepentingan” menggunakannya sesuai dengan Konvensi Jenewa Tahun 1949 dan Protokol-Protokol Tambahannya, dan berdasarkan Prinsip-prinsip dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, baik dalam situasi konflik bersenjata, atau pada situasi bencana alam, musibah, kegagalan teknologi, wabah penyakit, terutama untuk mengatur dan mengkoordinir kegiatan bantuan kemanusiaan. Karena itu bagi masyarakat Indonesia yang tidak “berhak” dan “berkepentingan” namun diduga tetap kukuh berlogika sektarianisme untuk mengunakannya, maka ada baiknya disebutkan tiga kategori penyalahgunaan lambang, yaitu: 1. Peniruan (imitation), yaitu penggunaan lambang dengan warna dan bentuk yang mirip, dimana kategori peniruan biasanya menambahkan tulisan atau gambar pada pada lambang. 2. Penggunaan yang tidak tepat (improper use), yaitu penggunaan lambang yang tidak sebagaimana mestinya, baik oleh pihak yang berhak maupun pihak yang tidak berhak. Penggunaan yang tidak tepat ini biasanya mencantumkan lambang tanpa tambahan tulisan atau gambar lain, dan 3. Pelanggaran Berat (grave misuse and pervidy), yaitu penggunaan lambang oleh pihak yang berhak namun digunakan untuk tujuan yang tidak sesuai dengan Hukum Perikemanusiaan Internasional, misalnya mengelabui lawan dengan bersembunyi di balik lambang Palang Merah sebagai tanda pelindung atau tanda pengenal. Agar tidak terus menerus disebut sebagai penyalahguna lambang-lambang Konvensi Jenewa Tahun 1949, dan agar kiranya tidak harus belajar banyak dari pengalaman Amerika Serikat dan Malaysia, tentu adalah kebaikan bagi Yayasan BSMI untuk segera menganti nama dan lambang Bulan Sabit Merah. Sebab kalau mau belajar dari Amerika Serikat dan Malaysia, bisa meniru cara mereka melakukan perubahan lambang sebagaimana dicontohkan oleh “Star of life” dan Mercy Malaysia. Logo “Star of Life” dulunya berbentuk Palang Oranye (Orange Cross) sedangkan Mercy Malaysia pada kata C-nya berbentuk Bulan Sabit Merah sehingga keduanya masuk kategori peniruan. Kini dengan perubahan logonya, “Star of Life” banyak digunakan untuk menandai kendaraan ambulans, begitu juga dengan Mercy Malaysia yang semakin terlihat cantik pada logonya ketika tanpa mencantumkan peniruan lambang Bulan Sabit Merah. KESEPULUH, karena PMI dibentuk dari, oleh, dan untuk Indonesia, "milik Indonesia", maka semua komponen masyarakat Indonesia harus mendukung pengesahan RUU Kepalangmerahan sehingga pelayanan sosial kemanusiaan yang terus dilakukan oleh sukarelawan PMI mendapatkan jaminan perlindungan dan penghormatan. Mengingat sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai dan mempertahankan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di mana para tokoh-tokoh perjuangan dari seluruh warna kebhinekaan dalam masyarakat ketika itu, pada saat melaksanakan kegiatan kemanusiaannya telah menggunakan lambang Palang Merah sebagai lambang pelindung dan lambang pengenal, dan dengan semangatnya berjuang membentuk organisasi PMI. Sebagai bagian dari sejarah perjuangan nasional, PMI adalah warisan luhur dari para pendiri bangsa dan negara ini, apalagi pada tanggal 17 September 1945, Bung Karno sebagai Presiden RI yang pertama, dengan pertimbangan yang sangat matang untuk kebutuhan sejarah perjuangan, telah membentuk Palang Merah Indonesia (PMI) sebagai perhimpunan nasional dan pendukung pemerintah (auxiliary to the government), dan mengesahkan penggunaan lambang Palang Merah, yang di dalamnya mengatur secara tegas dan penting penggunaan lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Nah, dengan masuknya Indonesia sebagai peserta agung Konvensi Jenewa Tahun 1949 dan telah meratifikasinya melalui UU No 59 Tahun 1958, maka kewajiban yang harus dilakukan adalah mengimplementasikan keseluruhan isi dari Konvensi Jenewa Tahun 1949 di dalam peraturan perundang-undangan nasional, agar pengaturan mengenai lambang kemudian menimbulkan ketaatan, kepatuhan, penghormatan dan perlindungan dari seluruh komponen negara dan masyarakat. Kemudian agar gerak juang PMI dalam rangka mendharmabaktikan (menunaikan tugas suci) tujuan kehadirannya, maka seluruh perjuangan bangsa hari ini harus dicurahkan untuk mendukung dan mendesak Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah untuk segera mengesahkan, mengundangkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepalangmerahan menjadi Undang-Undang Kepalangmerahan, agar niatan suci kemanusiaan yang tulus dari PMI mendapatkan jaminan perlindungan hukum, serta kepada lambang-lambang kemanusiaan yang digunakan baik Palang Merah, Bulan Sabit Merah, atau Kristal Merah sesegera bisa dihormati pemakaiannya, dapat dicegah penyalahgunaanya oleh orang dan atau badan hukum yang tidak berhak atau tidak berkepentingan, dan kemudian diberantas tindakan-tindakan penyalahgunaannya sesuai asas ketaatan dan kepatuhan hukum nasional kita. Kehadiran PMI yang nanti dipertegas dengan Undang-Undang Kepalangmerahan akan memberikan manfaat bagi Indonesia untuk meningkatkan pertolongan kepada setiap korban baik pada situasi konflik bersenjata maupun di masa damai. Jadi, tunggu apa lagi, masyarakat Indonesia dan Yayasan BSMI harus mendukung PMI, bergabung dengan PMI, membesarkan PMI, mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang Kepalangmerahan, karena sejatinya PMI itu lahir “dari, oleh, dan untuk Indonesia”.   Penulis: Irwan Lalegit, Relawan PMI #SavePMI, dan Ayo DPR Segera di Sahkan #RUUKepalangmerahan #SatuNegaraSatuLambangSatuPerhimpunanNasional #PMIUntukINDONESIA

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/irwanlalegit/mengapa-kita-tidak-berhak-memakai-nama-dan-lambang-bulan-sabit-merah_56c8cc14927a617c0c1b9db3

0 comments:

Posting Komentar